Blogroll

Selasa, 06 Juni 2017

Beberapa Nasehat Ibn Qayyim

[1] Imam Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (al-Fawa’id)

[2] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu)

[3] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu).

[4] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya…” (al-Fawa’id)

[5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Keberuntungan paling besar di dunia ini adalah kamu menyibukkan dirimu di sepanjang waktu dengan perkara-perkara yang lebih utama dan lebih bermanfaat untukmu kelak di hari akherat. Bagaimana mungkin dianggap berakal, seseorang yang menjual surga demi mendapatkan kesenangan sesaat? Orang yang benar-benar mengerti hakikat hidup ini akan keluar dari alam dunia dalam keadaan belum bisa menuntaskan dua urusan; menangisi dirinya sendiri -akibat menuruti hawa nafsu tanpa kendali- dan menunaikan kewajiban untuk memuji Rabbnya. Apabila kamu merasa takut kepada makhluk maka kamu akan merasa gelisah karena keberadaannya dan menghindar darinya. Adapun Rabb (Allah) ta’ala, apabila kamu takut kepada-Nya niscaya kamu akan merasa tentram karena dekat dengan-Nya dan berusaha untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.” (al-Fawa’id)

Senin, 05 Juni 2017

Surat An Najm 19-26

أَفَرَءَيْتُمُ ٱللَّٰتَ وَٱلْعُزَّىٰ (١٩)وَمَنَوٰةَ ٱلثَّالِثَةَ ٱلْأُخْرَىٰٓ (٢٠)أَلَكُمُ ٱلذَّكَرُ وَلَهُ ٱلْأُنثَىٰ (٢١)تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَىٰٓ (٢٢)إِنْ هِىَ إِلَّآ أَسْمَآءٌ سَمَّيْتُمُوهَآ أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ بِهَا مِن سُلْطَٰنٍ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَمَا تَهْوَى ٱلْأَنفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَآءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ ٱلْهُدَىٰٓ (٢٣)أَمْ لِلْإِنسَٰنِ مَا تَمَنَّىٰ (٢٤)فَلِلَّهِ ٱلْءَاخِرَةُ وَٱلْأُولَىٰ (٢٥)۞ وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ لَا تُغْنِى شَفَٰعَتُهُمْ شَيْـًٔا إِلَّا مِنۢ بَعْدِ أَن يَأْذَنَ ٱللَّهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَىٰٓ (٢٦)

Sabtu, 03 Juni 2017

20 Kesalahan Dalam Beraqidah

Kondisi umat sekarang ini sudah sedemikian rupa. Krisis multi dimensi dalam tatanan kehidupan beragama semakin terasa. Sosok muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan dalam pengamalan sehari-hari mereka tampilkan, baik dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi mereka tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan.

1. Kesalahan Memahami Kalimat Lailahailallah
Ini merupakan kesalahan esensial di tengah masyarakat muslimin dewasa ini. Mereka mencukupkan kalimat “Laa Ilaha Illallah” hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain.
Oleh karena itu dalam melafazkan kalimat tauhid ini harus ada konsekwensi yang mesti dipenuhi. Yaitu mengesakan Allah yang disertai ketaatan dan ketundukan untuk melaksanakan perintahNya dan mejauhi larangan-laranganNya.
2. Istihzaa’ (Memperolok) Perkara-Perkara Agama
Sebagai misal meperolok-olokkan masalah jenggot, jilbab, menaikkan pakaian diatas mata kaki, Islam sudah tidak relevan dengan zaman karena membatasi kebebasan wanita, hukum waris dan lain sebagainya.
Ketahuilah, jika olok-olokan itu ditujukan kepada syariat maka, sungguh dia telah menjadi kafir dan keluar dari ajaran agama Islam. Karena menghina syariat berarti menghina pembuat syariat, yaitu Allah. Begitu pula ia telah menghina Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Firman Allah, “Katakanlah,Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.
[At-Taubah: 65-66] 3. Ungkapan Sebagian Orang, “Ini sudah kehendak takdir”, atau, “Jika zaman sudah berkehendak maka akan menjadi begini dan begini”.
Ini juga merupakan kesalahan yang harus segera ditinggalkan. Karena zaman dan takdir tidak memiliki kehendak. Kehendak dan takdir kepunyaan Allah. Perhatikanlah firman Allah, “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”. [Al-Furqan: 2] 4. Perkataan yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang mempelajari ilmu Biologi, Kimia atau yang lain, “Partikel ini tidak mungkin bisa hancur” atau “Tidak mungkin zat ini akan terbentuk” dan ucapan-ucapan lain yang senada.
Mereka tidak sadar, bahwa ucapan termasuk bathil. Perlu diingat, semua yang ada di alam ini asalnya tidak ada. Allahlah yang menciptakannya dan semua makhluk pasti akan mengalami kehancuran atau kematian. Kemudian Allah hidupkan pada saat yang lain sesuai dengan kehendak Allah. “Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [Al-Mulk : 2] Jadi tidak ada satu makhlukpun yang hancur atau tercipta dengan sendirinya. Adapun makhluk yang bakal Allah kekalkan adalah Syurga dan Neraka disertai dengan kenikmatan atau adzab didalamnya, begitu juga dengan penghuninya. Sedangkan yang lain akan mengalami kehancuran. -tiap-tiap yang berjiwa pasti merasakan kematian
5. Mengeluh Dan Mencela Waktu.
Kesalahan seperti ini lebih banyak dilakukan oleh para penyair, seniman dan sastrawan melalui karya-karyanya. Kemudian diikuti oleh masyarakat umum sehingga menjadi suatu yang lumrah di kalangan masyarakat. Contohnya, “Zaman telah menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat” atau “Zaman telah gila” dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah penjelasan berikut ini.
Jika yang dimaksud hanya untuk memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’, maka hal itu diperbolehkan. Contoh, “Hari ini sangat panas” atau “sangat dingin” dengan syarat tanpa disertai celaan, berdasarkan firman Allah atas ucapan Luth Alaihissallam. “Ini adalah hari yang amat sulit”. [Huud : 77] Jika celaan terhadap waktu diiringi dengan keyakinan bahwa ‘waktu’ adalah penentu terhadap berbagai kejadian (musibah dan bencana), maka hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (besar) karena berkeyakinan ada kekuatan atau kekuasaan selain Allah.
6. Ketika seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama yang menyangkut perkara yang zahir seperti, “Pakailah jilbab!” atau, “Peliharalah janggutmu!” atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata khaki!”, lalu dia menjawab, “Ahh, Hal itu tidak penting yang penting hati dulu.”
Ketahuilah, wahai saudaraku bahwa jawaban itu merupakan jawaban yang keliru, sebab dibalik jawaban itu terselubung niat yang bathil. Sedangkan pada diri orang yang dinasehati tersebut jelaslah tidak menginginkan untuk mengamalkan nasehat dan sunnah. Seandainya hal itu benar-benar ada pada hatinya. Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan tunduk dan segera merealisasikan taqwa dalam bentuk amalan.
7. Perkataan sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di sukai, “Seandainya tadi ini yang dikerjakan tentu terjadi begini dan begini”
9. Salah memahami ‘Ibadah’.

Sebagian orang menyangka bahwa ibadah hanya berkisar pada shalat, puasa, zakat dan haji. Padahal ibadah itu mencakup seluruh cabang-cabang iman yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh lebih. “Iman itu ada 70 atau 60 cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan laa ilaaha illaallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk cabang dari iman. [HR. Muslim] Maka jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup seluruh aspek kehidupan meliputi aspek mu’amalah, perekonomian, dan persenjataan (yang sesuai dengan syari’at)
10. Munculnya syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa membantah nash (teks) dari Al-Quran maupun dari Hadits.”
Ketahuilah, wajib bagi seorang muslim berkeyakinan bahwa yang ada dalam Al-Quran ataupun Hadits yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan teknologi yang benar. Ini merupakan kenyataan yang wajib bagi kita untuk mengimaninya dan membenarkan yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya.
11. Masyhurnya beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung makna tazkiyah (penyucian) terhadap diri. Seperti: Iman, Rahman, Malikul Mulk, Quddus dan lain sebagainya.
12. Dugaan sebagian orang “Semua perkara itu sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”
Ini juga termasuk kesalahan yang menyebar di tengah umat.

Tidaklah seorang hamba berdo’a, kecuali Allah akan memberikan satu diantara tiga hal. Yaitu dikabulkan doanya, atau Allah hindarkan dia dari keburukan atau Allah simpan doanya di sisi Allah untuk dia. Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab, “Allah lebih memperbanyak (pengabulanNya).” [HR Tirmidzi] 13. Jawaban seseorang ketika dilarang dari penyimpangan, ia menjawab, “Karena kebanyakan orang melakukannya.”
Ini jelas merupakan suatu kekeliruan, karena tidak mungkin seseorang yang memiliki akal dan pemikiran yang jernih mau terjun ke dalam suatu jurang yang sudah nyata-nyata di depan matanya.

14.Menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan Muhammad secara sejajar di dinding-dinding rumah, papan-papan atau kitab-kitab dan lainnya.
Hal ini termasuk larangan. Karena memiliki makna menjadikan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla. Lebih parah lagi, seandainya yang menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak mengetahui maknannya. Mereka menganggap bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan antara Allah dan Muhammad.
Dan jika lafadz Muhammad dihilangkan, maka tinggalah lafadz Allah saja. Dan ini juga termasuk kesalahan. Karena berzikir dengan lafadz Allah saja termasuk kekeliruan dalam berzikir.
Oleh karenanya, selayaknya kita meninggalkan hal yang semacam ini (menggantungkan lafadz semacam ini) . Hal ini belum pernah dicontohkan oleh Salaf As-Shalih Radhiyallahu ‘anhum.
15. Persaksian ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di jihad fisabilillah. Maka semacam ini termasuk kesalahan juga. Karena hanya Allah-lah yang mengetahui keadaan hati orang tersebut.
Allah yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang jihad fi sabilillah. Kita tidak bisa mengetahui hakekat hati orang yang meninggal tersebut. Apakah benar-benar ikhlas niatnya ataukah tidak ? Sehingga masih berharap dunia. Atau apakah aqidahnya sudah lurus ataukah belum? Selayaknya kita hanya mengatakan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah secara umum, “Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia adalah syahid”.
Oleh karena itu kita dilarang menetapkan seseorang tertentu yang meninggal di jalan Allah dengan sebutan ‘syahid Fulan’. Tetapi hendaknya kita mendoakan dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”, bukan dengan “syahid Fulan.”
16. Merasa ada keberuntungan atau kesialan berkaitan dengan mushaf (al-Qur’an).
Maksudnya, ketika membuka mushaf kemudian menjumpai ayat yang didalamnya ada kebaikan, maka optimis mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika membaca ayat yang didalamnya ada keburukan (adzab), maka merasa pesimis terhindar darinya. Oleh karena itu para ulama melarang hal semacam ini.
17. Penulisan ص atau SAW untuk mempersingkat صلى الله عليه وسلم
Kalangan ulama musthalah hadits, melarang hal ini. Karena termasuk menghilangkan pahala shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seseorang. Dan seandainya saja seseorang menulis shalawat secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat pahala. Begitu pula orang-orang yang membacanya.” Barangsiapa bershalawat kepadaku n satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali kepadanya. [Abu Daud] Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim meninggalkan pahala yang besar hanya karena untuk mempercepat dan mempersingkat tulisan.
18. Mengiringi doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang “mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya Allah!” atau “semoga Allah memberikan rizqi kepadamu, Insya Allah !”
Perhatikanlah dua contoh doa di atas sehingga nampak jelas. Maka doa tersebut termasuk larangan jika dalam masyi’ah tersebut, kita bersikap masa bodoh terhadap doa kita (dikabulkan atau tidak terserah Allah Azza wa Jalla) tanpa adanya harapan. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’laiahi wa asallam, “Janganlah salah seorang dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku jika engkau berkehendak dan rahmatilah aku jika engkau berkehendak…” [Bukhari kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679].
19. Mencaci-Maki Syetan.
Hal ini juga termasuk larangan berdasarkan sabda Nabi, “Janganlah kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah dari keburukkannya. [As-Shahihah no. 2422 dikeluarkan Ad-Dalimi dan selainnya] Dan perlu diketahui bahwa pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan tidak berpengaruh sedikitpun terhadap keputusan Allah karena kita mencaci atau tidak, syetan sudah dilaknat oleh Allah Azza wa Jalla.
20. Merasa akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan banyak terjadi “bala” sehingga menunda safar (berpergian), pernikahan dan lain-lainnya.
Demikianlah duapuluh kesalahan dalam beraqidah yang telah menyebar dan begitu populer di tengah umat. Semoga Allah senantiasa membimbing kita, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan tersebut.
miin. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.Wallahu ‘alam.

22 Poin Ringkasan Fikih Safar

oleh : Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul Safar adalah keluar dari tempat tinggal yang jelas dan nyata bentuknya, untuk menempuk suatu jarak tertentu. Dan ini adalah hal yang disepakati ulama. Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan jarak safar. Sebagian ulama mengatakan: sekadar jarak antara Mekkah dan Mina. Karena Rasulullah menganggap penduduk Mekkah sebagai musafir, dan beliau meng-qashar shalat bersama mereka dan tidak memerintahkan untuk menyempurnakan rakaat shalat. Dan perlu digaris-bawahi bahwa Mina bukanlah tujuannya, karena tujuannya adalah Arafah. Dan jaraknya adalah sekitar 30 kilometer. Sebagian ulama mengatakan: sejauh satu hari perjalanan (Al Istidzkkar, 2/233). Abu Umar bin Abdil Barr berkata: “jarak safar adalah jarak perjalanan sehari semalam dengan perjalanan yang cepat, yaitu sekitar 4 barid”. Dan 1 barid itu sama dengan 4 farsakh, maka jaraknya adalah sekitar 16 farsakh. Satu farsakh sama dengan 3 mil. Sehingga jaraknya menjadi 48 mil atau 77,232 kilometer. Dan ini adalah jarak antara Jeddah dan Mekkah. Terdapat riwayat:عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ كَانَ «يَقْصُرُ الصَّلَاةَ فِي مِثْلِ مَا بَيْنَ مَكَّةَ وَالطَّائِفِ، وَفِي مِثْلِ مَا بَيْنَ مَكَّةَ وَعُسْفَانَ، وَفِي مِثْلِ مَا بَيْنَ مَكَّةَ وَجُدَّةَ»“Abdullah bin Abbas pernah meng-qashar shalat dalam perjalanan yang semisal antara Mekkah ke Thaif, atau antara Mekkah ke Usfan, atau antara Mekkah ke Jeddah“. Sebagian ulama mengatakan: batasannya kembali pada ‘urf (kebiasaan setempat). Jarak yang dianggap oleh penduduk setempat sebagai safar, maka itulah batasan safar. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu dan dipegang oleh jumhur ulama, dan ini yang lebih adhbath (paling baik kaidahnya). Orang yang safar tidak boleh meng-qashar shalat hingga ia meninggalkan rumah terakhir yang ada di daerah dimana ia menjadi penduduk di sana. Dan tidaklah ia menyempurnakan rakaat shalat hingga ia menemui rumah pertama di daerah dimana ia menjadi penduduk di sana. Para ulama bersepakat bahwa seorang Muslim yang berada di daerahnya sendiri atau di tempat ia bertempat tinggal di sana, ia bukanlah musafir. Para ulama bersepakat bahwa seorang Muslim yang berada di perjalanan safar, baik jauh ataupun dekat, atau berapapun jaraknya (selama masih termasuk jarak safar, pent.), maka ia musafir. Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang Muslim yang telah sampai di tempat atua daerah tujuan, lalu ia bermaksud untuk menetap di sana dalam jangka waktu tertentu, apakah ia keluar dari batasan safar dari sejak ia sampai hingga selesai menetapnya? Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus sebagai musafir sampai ia kembali ke daerah tempat tinggalnya. Berapapun lamanya ia menetap di daerah tujuan. Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus musafir jika berencana tinggal selama 4 hari atau kurang dari itu. Dan ia berstatus sebagaimuqim sejak sampai di daerah tujuan jika ia berencana tinggal lebih dari 4 hari. Pendapat yang rajih menurut pandanganku adalah pendapat kedua, karena RasulullahShallallahu’alaihi wasallam ketika datang ke Mekkah untuk haji beliau tidak menetap di Mekkah kecuali selama 4 hari beliau meng-qashar shalat. Kemudian beliau keluar menuju Mina. Selain itu Rasulullah melarang kaum Muhajirin menetap di Mekkah lebih dari 3 hari agar hijrah mereka tidak batal. Ini menunjukkan bahwa menetap lebih dari 4 hari mengeluarkan seorang Muslim dari batasan safar menjadi iqamah (menetap). Jika seorang Muslim musafir sampai di daerah yang menjadi tujuannya, namun ia tidak berencana menetap di sana, dan ia masih bimbang dan belum tahu kapan akan pulang. Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus sebagai musafir sampai ia kembali ke daerah tempat tinggalnya. Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus musafir selama 19 hari, namun setelahnya ia berstatus muqim. Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua. Terdapat hadits yang diriwayatkan Al Bukhari (1080), dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata: أَقَامَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ، فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا، وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menetap selama 19 hari dengan meng-qashar shalat. Dan kami jika menetap selama 19 hari kami meng-qashar shalat, jika lebih dari itu kami menyempurnakan shalat“ Meng-qashar (meringkas rakaat) shalat ketika safar hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Namun jika menyempurnakan rakaat, shalatnya tetap sah. Seorang musafir jika shalat menjadi makmum dari imam yang berstatus muqim, maka musafir tersebut tidak boleh meng-qashar. Boleh menjamak (menggabungkan) shalat ketika safar. Zhuhur dijamak dengan ashar, maghrib dengan isya. Shalat subuh dikerjakan pada waktunya dan tidak dijamak dengan shalat sebelumnya atau sesudahnya. Menjamak shalat dengan shalat sebelumnya dinamakan jamak taqdim. Misalnya yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Arafah ketika haji Wada’, beliau menggabungkan shalat ashar dengan zhuhur. Menjamak shalat dengan shalat sesudahnya dinamakan jamak ta’khir. Misalnya yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di Muzdalifah pada malam hari, beliau menggabungkan shalat Maghrib dan Isya. Shalat maghrib tidak boleh diringkas menjadi 2 rakaat, demikian juga shalat subuh tetap dikerjakan 2 rakaat. Yang bisa di-qashar adalah shalat ruba’iyyah, yaitu shalat zhuhur, shalat ashar, dan shalat isya. Menjamak shalat adalah rukhshah safar, baik perjalanannya terus-menerus atau tidak. Dan yang lebih utama adalah shalat pada waktunya (tidak dijamak), kecuali jika perjalanannya terus-menerus. Ketika menjamak shalat, hendaknya adzan sebelum shalat yang pertama saja, dan iqamat pada setiap shalat. Sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir, yang dilakukan adalah shalat zhuhur. Sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hajinya. Karena ketika itu bertepatan dengan hari Jum’at, dan beliau tidak shalat Jum’at dan shalat zhuhur dijamak dengan shalat ashar. Jika seorang musafir shalat Jum’at, tidak boleh menjamaknya dengan shalat ashar. Karena hal itu tidak ada tuntunannya dari RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan shalat qabliyah shubuh, shalat witir, shalat lail dan shalat dhuha ketika safar. Dan ini semua adalah shalat tathawwu’. Safar adalah kesulitan dan adzab. Maka ketika seorang Muslim sudah menunaikan hajatnya, segeralah ia kembali kepada keluarganya dan daerahnya. Status safar tidak menghalangi keabsahan akad nikah dan akad jual-beli. Waliyul amr tidak disyariatkan untuk menegakkan had dalam keadaan safar. Imam Ahmad mengeluarkan hadits dalam Musnad-nya (17626, 17627), dan Abu Daud (4408), dan At Tirmidzi (1450) dari Junadah bin Abi Umayyah, ia berkata:كنا مع بُسْرِ بنِ أبي أرطاةَ في البحرِ، فأتي بسارقٍ يقال له: مِصْدَرٌ، قد سرقَ بُخْتِيَّةً، فقال: «سمعتُ رسولَ الله -صلَّى الله عليه وسلم- يقول: «لا تُقطَعُ الأيدي في السَّفر» ولولا ذلك لقطعتُه“kami pernah bersama Busr bin Abi Artha’ah di laut, ia bersama seorang pencuri bernama Mishdar. Ia mencuri sebuah Bukhtiyyah. Busr berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘tidak dipotong tangan pencuri ketika safar‘. Andaikan bukan karena hadits ini, maka telah aku potong tangannya” (Dishahihkan Al Albani dan Al Arnaut) Seorang Muslim dimakruhkan bersafar sendirian. Imam Malik meriwayatkan hadits dalam Al Muwatha dalam kitab Al Isti’dzan, bab Maa ja’a bil wahdah fis safar, dan juga Abu Daud (2607), dan At Tirmidzi (1674), dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ، وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ، وَالثَّلَاثَةُ رَكْبٌ“orang yang berkendaraan sendirian adalah setan, orang yang berkendaraan berdua adalah dua setan, orang yang berkendaraan bertiga maka itulah orang yang berkendaraan yang benar“. Hadits ini hasan. Jika seorang Muslim menjadi warga negara sebuah negara, kemudian ia meninggalkan negara tersebut dan menjadi warga negara dari negara lain. Kemudian ia kembali ke negara yang awal tanpa mengganti kewarganegaraannya. Maka ia berstatus safar dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebut pada poin sebelumnya. Kecuali jika ia memiliki rumah di sana. Jika demikian, maka ia tidak boleh meng-qashar shalat. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika kembali ke Mekkah setelah Fathul Mekkah beliau tidak menyempurnakan rakaat shalat, beliau meng-qashar. Namun ketika beliau ditanya mengenai rumahnya, beliau menjawab: “apakah masih ada bagiku rumah walau hanya satu petak?“. Ini menunjukkan bahwa beliau dan kaum Muhajirin yang bersama beliau adalah musafir. Jika seorang Muslim bertempat tinggal di suatu kota, sedangkan ia bekerja di kota lainnya, maka ia boleh meng-qashar shalat dalam safarnya antara dua kota tersebut. Namun ketika ia sudah masuk ke kota dimana rumahnya berada, maka tidak boleh meng-qashar shalat.

Twitter Twitter Facebook Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review