oleh : Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul Safar adalah keluar dari tempat tinggal yang jelas dan nyata bentuknya, untuk menempuk suatu jarak tertentu. Dan ini adalah hal yang disepakati ulama. Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan jarak safar. Sebagian ulama mengatakan: sekadar jarak antara Mekkah dan Mina. Karena Rasulullah menganggap penduduk Mekkah sebagai musafir, dan beliau meng-qashar shalat bersama mereka dan tidak memerintahkan untuk menyempurnakan rakaat shalat. Dan perlu digaris-bawahi bahwa Mina bukanlah tujuannya, karena tujuannya adalah Arafah. Dan jaraknya adalah sekitar 30 kilometer. Sebagian ulama mengatakan: sejauh satu hari perjalanan (Al Istidzkkar, 2/233). Abu Umar bin Abdil Barr berkata: “jarak safar adalah jarak perjalanan sehari semalam dengan perjalanan yang cepat, yaitu sekitar 4 barid”. Dan 1 barid itu sama dengan 4 farsakh, maka jaraknya adalah sekitar 16 farsakh. Satu farsakh sama dengan 3 mil. Sehingga jaraknya menjadi 48 mil atau 77,232 kilometer. Dan ini adalah jarak antara Jeddah dan Mekkah. Terdapat riwayat:عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ كَانَ «يَقْصُرُ الصَّلَاةَ فِي مِثْلِ مَا بَيْنَ مَكَّةَ وَالطَّائِفِ، وَفِي مِثْلِ مَا بَيْنَ مَكَّةَ وَعُسْفَانَ، وَفِي مِثْلِ مَا بَيْنَ مَكَّةَ وَجُدَّةَ»“Abdullah bin Abbas pernah meng-qashar shalat dalam perjalanan yang semisal antara Mekkah ke Thaif, atau antara Mekkah ke Usfan, atau antara Mekkah ke Jeddah“. Sebagian ulama mengatakan: batasannya kembali pada ‘urf (kebiasaan setempat). Jarak yang dianggap oleh penduduk setempat sebagai safar, maka itulah batasan safar. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu dan dipegang oleh jumhur ulama, dan ini yang lebih adhbath (paling baik kaidahnya). Orang yang safar tidak boleh meng-qashar shalat hingga ia meninggalkan rumah terakhir yang ada di daerah dimana ia menjadi penduduk di sana. Dan tidaklah ia menyempurnakan rakaat shalat hingga ia menemui rumah pertama di daerah dimana ia menjadi penduduk di sana. Para ulama bersepakat bahwa seorang Muslim yang berada di daerahnya sendiri atau di tempat ia bertempat tinggal di sana, ia bukanlah musafir. Para ulama bersepakat bahwa seorang Muslim yang berada di perjalanan safar, baik jauh ataupun dekat, atau berapapun jaraknya (selama masih termasuk jarak safar, pent.), maka ia musafir. Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang Muslim yang telah sampai di tempat atua daerah tujuan, lalu ia bermaksud untuk menetap di sana dalam jangka waktu tertentu, apakah ia keluar dari batasan safar dari sejak ia sampai hingga selesai menetapnya? Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus sebagai musafir sampai ia kembali ke daerah tempat tinggalnya. Berapapun lamanya ia menetap di daerah tujuan. Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus musafir jika berencana tinggal selama 4 hari atau kurang dari itu. Dan ia berstatus sebagaimuqim sejak sampai di daerah tujuan jika ia berencana tinggal lebih dari 4 hari. Pendapat yang rajih menurut pandanganku adalah pendapat kedua, karena RasulullahShallallahu’alaihi wasallam ketika datang ke Mekkah untuk haji beliau tidak menetap di Mekkah kecuali selama 4 hari beliau meng-qashar shalat. Kemudian beliau keluar menuju Mina. Selain itu Rasulullah melarang kaum Muhajirin menetap di Mekkah lebih dari 3 hari agar hijrah mereka tidak batal. Ini menunjukkan bahwa menetap lebih dari 4 hari mengeluarkan seorang Muslim dari batasan safar menjadi iqamah (menetap). Jika seorang Muslim musafir sampai di daerah yang menjadi tujuannya, namun ia tidak berencana menetap di sana, dan ia masih bimbang dan belum tahu kapan akan pulang. Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus sebagai musafir sampai ia kembali ke daerah tempat tinggalnya. Sebagian ulama mengatakan: ia berstatus musafir selama 19 hari, namun setelahnya ia berstatus muqim. Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua. Terdapat hadits yang diriwayatkan Al Bukhari (1080), dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata: أَقَامَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ، فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا، وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menetap selama 19 hari dengan meng-qashar shalat. Dan kami jika menetap selama 19 hari kami meng-qashar shalat, jika lebih dari itu kami menyempurnakan shalat“ Meng-qashar (meringkas rakaat) shalat ketika safar hukumnya sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Namun jika menyempurnakan rakaat, shalatnya tetap sah. Seorang musafir jika shalat menjadi makmum dari imam yang berstatus muqim, maka musafir tersebut tidak boleh meng-qashar. Boleh menjamak (menggabungkan) shalat ketika safar. Zhuhur dijamak dengan ashar, maghrib dengan isya. Shalat subuh dikerjakan pada waktunya dan tidak dijamak dengan shalat sebelumnya atau sesudahnya. Menjamak shalat dengan shalat sebelumnya dinamakan jamak taqdim. Misalnya yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Arafah ketika haji Wada’, beliau menggabungkan shalat ashar dengan zhuhur. Menjamak shalat dengan shalat sesudahnya dinamakan jamak ta’khir. Misalnya yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di Muzdalifah pada malam hari, beliau menggabungkan shalat Maghrib dan Isya. Shalat maghrib tidak boleh diringkas menjadi 2 rakaat, demikian juga shalat subuh tetap dikerjakan 2 rakaat. Yang bisa di-qashar adalah shalat ruba’iyyah, yaitu shalat zhuhur, shalat ashar, dan shalat isya. Menjamak shalat adalah rukhshah safar, baik perjalanannya terus-menerus atau tidak. Dan yang lebih utama adalah shalat pada waktunya (tidak dijamak), kecuali jika perjalanannya terus-menerus. Ketika menjamak shalat, hendaknya adzan sebelum shalat yang pertama saja, dan iqamat pada setiap shalat. Sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir, yang dilakukan adalah shalat zhuhur. Sebagaimana dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hajinya. Karena ketika itu bertepatan dengan hari Jum’at, dan beliau tidak shalat Jum’at dan shalat zhuhur dijamak dengan shalat ashar. Jika seorang musafir shalat Jum’at, tidak boleh menjamaknya dengan shalat ashar. Karena hal itu tidak ada tuntunannya dari RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan shalat qabliyah shubuh, shalat witir, shalat lail dan shalat dhuha ketika safar. Dan ini semua adalah shalat tathawwu’. Safar adalah kesulitan dan adzab. Maka ketika seorang Muslim sudah menunaikan hajatnya, segeralah ia kembali kepada keluarganya dan daerahnya. Status safar tidak menghalangi keabsahan akad nikah dan akad jual-beli. Waliyul amr tidak disyariatkan untuk menegakkan had dalam keadaan safar. Imam Ahmad mengeluarkan hadits dalam Musnad-nya (17626, 17627), dan Abu Daud (4408), dan At Tirmidzi (1450) dari Junadah bin Abi Umayyah, ia berkata:كنا مع بُسْرِ بنِ أبي أرطاةَ في البحرِ، فأتي بسارقٍ يقال له: مِصْدَرٌ، قد سرقَ بُخْتِيَّةً، فقال: «سمعتُ رسولَ الله -صلَّى الله عليه وسلم- يقول: «لا تُقطَعُ الأيدي في السَّفر» ولولا ذلك لقطعتُه“kami pernah bersama Busr bin Abi Artha’ah di laut, ia bersama seorang pencuri bernama Mishdar. Ia mencuri sebuah Bukhtiyyah. Busr berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘tidak dipotong tangan pencuri ketika safar‘. Andaikan bukan karena hadits ini, maka telah aku potong tangannya” (Dishahihkan Al Albani dan Al Arnaut) Seorang Muslim dimakruhkan bersafar sendirian. Imam Malik meriwayatkan hadits dalam Al Muwatha dalam kitab Al Isti’dzan, bab Maa ja’a bil wahdah fis safar, dan juga Abu Daud (2607), dan At Tirmidzi (1674), dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ، وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ، وَالثَّلَاثَةُ رَكْبٌ“orang yang berkendaraan sendirian adalah setan, orang yang berkendaraan berdua adalah dua setan, orang yang berkendaraan bertiga maka itulah orang yang berkendaraan yang benar“. Hadits ini hasan. Jika seorang Muslim menjadi warga negara sebuah negara, kemudian ia meninggalkan negara tersebut dan menjadi warga negara dari negara lain. Kemudian ia kembali ke negara yang awal tanpa mengganti kewarganegaraannya. Maka ia berstatus safar dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebut pada poin sebelumnya. Kecuali jika ia memiliki rumah di sana. Jika demikian, maka ia tidak boleh meng-qashar shalat. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika kembali ke Mekkah setelah Fathul Mekkah beliau tidak menyempurnakan rakaat shalat, beliau meng-qashar. Namun ketika beliau ditanya mengenai rumahnya, beliau menjawab: “apakah masih ada bagiku rumah walau hanya satu petak?“. Ini menunjukkan bahwa beliau dan kaum Muhajirin yang bersama beliau adalah musafir. Jika seorang Muslim bertempat tinggal di suatu kota, sedangkan ia bekerja di kota lainnya, maka ia boleh meng-qashar shalat dalam safarnya antara dua kota tersebut. Namun ketika ia sudah masuk ke kota dimana rumahnya berada, maka tidak boleh meng-qashar shalat.
0 komentar:
Posting Komentar